BAB
I
PENDAHULUAN
Sumber hukum islam yang utama adalah Al Qur’an dan Al Hadits. Dalam Al Qur’an berisi tentang
hukum-hukum yang tertulis secara umum namun dalam Al Hadits menguraikan
hukum-hukum umum yang tertulis dalam Al Qur’an secara lebih terinci. Contoh
hadits-hadits yang menjelaskan tentang masalah-masalah dalam Al Qur’an adalah
hadits shahih, hadits hasan dan lain-lain.
Namun dalam kehidupan sehari-hari yang banyak
digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah adalah hadits
shahih, karena hadits tersebut dianggap sebagai hadits paling sempurna diantara
hadits-hadits yang lain.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apakah pengertian Hadits Shahih?
B. Apakah
syarat-syarat Hadits Shahih menurut Imam al-Bukhari dan Imam Muslim ?
C.
Apakah makna Muttasilus sanad?
D.
Sebutkan minimal 2 (dua) Hadits Shahih
(lengkap dengan sanadnya) ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Shahih
Berikut adalah
pendapat beberapa buku dan ulama tentang hadist shahih
· Para
ulama telah memberikan definisi hadits shahih yang telah diakui dan disepakati kebenarannya oleh para ahli
hadist.Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung
sanadnya, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan yang dhabit dari rawi yang
lain juga
adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak
mengandung cacat (illat).
·
Hadits shahih merupakan sebuah hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan
yang dhabit dari rawi yang lain (juga) adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan
hadits itu
tidak janggal serta tidak mengandung cacat (‘Illat). Sahih menurut
lughat adalah lawan dari “saqim”[1],
artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil.
·
Menurut ahli hadits , hadits shahih adalah hadits yang sanandnya
bersambung , dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama,
sampai berakhir pada Rasulullah Saw, sahabat atau tabiin, bukan hadits yang syadz (kontriversi) dan terkena ‘illat yang
menyebabkan cacat dalam penerimaannya
·
Sahih menurut bahasa “sehat “,
kebalikan dari “sakit”. Sedang menurut istilah ialah hadits yang muttasil
(bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak syadz
dan tidak pula terdapat billat ( cacat ) yang merusak.
·
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.
·
Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah
Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah hadits yang lafadznya
selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.
Dari pengertian diatas bahwa
kriteria hadits shahih ada lima syarat yang harus di
penuhi sebagai berikut :
1.
muttasil sanadnya (ittisal as-sanad) artinya setiap
hadits yang yang diriwayatkan oleh rowi tali – temali,
sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya dari Nabi
Muhammad SAW dan yang bersangkutan benar –
benar menerimanya dari rawi yang berada di atasnya sampai kepada pembicara yang
pertama. Oleh karena itu
apabila ada hadis yang sanadnya ada yang munqoti’[2],
Mu’dhol [3],
Mu’allaq [4]
dan mursal[5] maka hadis tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai hadis shahih walaupun dulunya termasuk hadist shahih .
2.
Diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, artinya adil dalam
periwayatannya dan sifat yang ada pada seseorang
yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.
(hati) dan dhobithul kitab (tulisan),maksutnya kedua macam pembagian itu rawi hadist yang bersangkutan dapat menguasai hadistnya
dengan baik,baik dengan hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya,kemudian
ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
4.
Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk kategori
hadits yang syadz.Kerancuan (syudzudz)
adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lainnya yang lebih
kuat posisinya.Sebenarnya kerancuan suatu hadist itu akan hilang dengan
terpenuhinya tiga syarat sebelumnya karena para muhadditsin menanggap bahwa
ka-dhabit-an telah mencangkup potensi
kemampuan rawi yang berkaitan dengan sejumlah hadist yang di kuasainya.
5.
Hadits yang diriwayatkan harus terbebas dari illat
(cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits menjadi turun.
Hadist Shahih di bagi menjadi dua yaitu
a.
Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau
sifat-sifat hadis maqbul secara
sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi”
karena telah memenuhi semua syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat
yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai
dengan sendirinya.[6]
Untuk lebih jelasnya, berikut penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ
عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ
مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Hadis yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
b.
Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan
li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis
maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat
darinya, dinamakan hadis shahih li
ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung
yang lain[7].Berikut
contoh hadis shahih li ghairihi
yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ،
حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة. ٍ
Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana
dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang
dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis
riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut
didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
B. Syarat-syarat
Hadits Shahih menurut imam Al-Bukhari
dan imam Al-Muslim.
Para ulama berbeda pendapat tentang
kitab mana yang lebih unggul diantara
kedua kitab shahih ini. Jumhur muhaddtisin berpendapat bahwa Shahih Al-Bukhari lebih utama daripada Shahih
Muslim,sedangkan sejumlah ulama dari Maroko dan lainnya berpendapat bahwa
Shahih Muslim lebih utama daripada al-Bukhari.
Syarat kesahihan hadis menurut Imam
Bukhari begitu ketat, sehingga banyak hadis yang dinilai oleh Ulama Hadis lain
sebagai hadis sahih, namun menurut Imam Bukhari tidak.
1.
Sanad bersambung (muttashil) terlalu ketat
2.
Seluruh periwayat dalam sanad suatu
hadis harus adil
3.
Periwayat bersifat dhabith
4.
terhindar dari syadz dan illat
1.
sanad bersambung tidak terlalu ketat
2.
seluruh periwayat dalam sanad suatu
hadis harus adil
3.
dhabith (Tsiqah)
4.
terhindar dari syadz dan illat.
Berikut adalah pendapat dari Al-Hafizh
mengulas kelebihan Shahih Al-Bukhari
atas Shahih Muslim
1) Al-Bukhari
mensyaratkan kepastian bertemunya dua orang rawi yang secara struktual sebagai
guru dan murid agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Adapun Muslim
menganggap cukup dengan kemungkinan dapat bertemunya kedua rawi tersebut dengan
tidak adanya tadlis.
Dengan, demikian syarat al-Bukhari lebih ketat daripada
syarat Muslim, sehingga Shahih al-Bukhari
leih shahih. Hal ini cukup menjadi faktor penentu dalam keunggulan al-Bukhari atas
Muslim.
2)
Dalam penyusunan kitab al-Bukhari berisi tentang ungkapan fiqih hadits shahih dan menggali berbagai
kesimpulan hukum yang berfaidah serta
menjadikan kesimpulan itu sebagai judul
bab-babnya. Al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada
setiap tempat ia sebutkan lagi sanadnya.
Sedangkan
Muslim tidak mengungkap fiqih hadits, melainkan untuk mengemukakan ilmu-ilmu
yang bersanad, karena ia meriwayatkan setiap hadits sesuai tempatnya serta
menghimpun jalur-jalur dan sanad-sanadnya ditempat tersebut.
3) Al-Bukhari
mengeluarkan (menulis) hadits-hadits yang diterima dari rawi tsiqat yang
termasuk derajat pertama dan sangat tinggi tingkat hafalan dan keteguhannya. Ia
juga mengeluarkan hadits dari para rawi pada tingkatan berikutnya dengan sangat
selektif. Sedangkan Muslim lebih banyak mengeluarkan haditsnya dari rawi pada
tingkatan ini dibandingkan dengan al-Bukhari.
C.
Makna
dari Muttasilus
Sanad
Dalam
Muttasilus
Sanad di kenal beberapa istilah diantaranya adalah
1.
Rawi adalah
orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa
penyampaiannya. Para ulama mengklasifikasikan para rawi dari berbagai segi dan
sedikitnya hadits yang mereka riwayatkan serta peran mereka dalam bidang ilmu
hadits menjadi beberapa tingkatan[10].
Dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu:
·
al-Musnid, adalah orang yang meriwayatkan
hadits beserta sanadnya, baik ia mengetahui kandungan hadits yang
diriwayatkannya atau sekedar meriwayatkan tanpa memahami isi kandungannya.
·
al-Muhaddits. Sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnu Sayyid an-Nas, al-Muhaddits adalah orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap
hadits, baik dari segi riwayah maupun dirayah, hapal identitas dan
karakteristik para rawi, mengetahui keadaan mayoritas rawi di setiap jamannya
beserta hadits-hadits yang mereka riwayatkan; tambahan dia juga memiliki
keistimewaan sehingga dikenal pendiriannya dan ketelitiannya[11].
·
al-Hafidh, secara bahasa berarti
'penghapal' Gelar ini lebih tinggi daripada gelar al-Muhaddits. Para ulama
menjelaskan bahwa al-Hafidh adalah gelar orang yang sangat luas pengetahuannya
tentang hadits beserta ilmu-ilmunya, sehingga hadits yang diketahuinya lebih
banyak daripada yang tidak diketahuinya."[12]
·
al-Hujjah, gelar ini diberikan kepada
al-Hafidh yang terkenal tekun. Bila seorang hafidh sangat tekun, kuat dan rinci
hapalannya tentang sanad dan matan hadits, maka ia diberi gelar al-Hujjah.
Ulama mutaakhkhirin mendefinisikan al-Hujjah sebagai orang yang hapal tiga
ratus ribu hadits, termasuk sanad dan matannya.
·
al-Hakim, adalah rawi yang menguasai
seluruh hadits sehingga hanya sedikit saja hadits yang terlewatkan.
·
Amir al-Mu'minin fi al-Hadits (baca: Amirul
Mukminin fil Hadits) adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada orang yang
kemampuannya melebihi semua orang di atas tadi, baik hapalannya maupun
kedalaman pengetahuannya tentang hadits dan 'illat-'illatnya, sehingga ia
menjadi rujukan bagi para al-Hakim, al-Hafidh, serta yang lainnya. Di antara
ulama yang memiliki gelar ini adalah Sufyan ats-Tsawri, Syu'bah bin al-Hajjaj,
Hammad bin Salamah, Abdullah bin al-Munarak, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, dan
Muslim. Dan dari kalangan ulama mutaakhkhirin ialah al-Hafidh Ahmad bin Ali bin
Hajar al-'Asqalani dan lainnya.[13]
2. Tsiqah
Rawi adalah Kredibel, di mana pada diri
seorang rawi terkumpul sifat al-Adalah (Potensi
yang dapat membawa pemiliknya kepada takwa, dan menghindari hal-hal
tercela dan segala hal yang dapat merusak nama baik dalam pandangan orang
banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan syarat-syarat: Islam,
baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal yang merusak nama baik)
dan adh-Dhabt (hafalan
yang bagus).
3. Syadz
Secara bahasa kata syadz berasal dari
bahasa arab yang merupakan formulasi dari lafaz yang artinya menyendiri,
meyimpang, tidak sesuai dengan aturan(kaedah), menyeleweng[14].
Ada juga yang mengartikan dengan memisahkan diri atau mengasingkan diri
kumpulan[15].
Sedangkan menurut istilah, banyak ditemukan beberapa definisi yang berkaitan dengan syadz, antara lain:
Sedangkan menurut istilah, banyak ditemukan beberapa definisi yang berkaitan dengan syadz, antara lain:
·
Muhammad
Luqman as-Salafi, Ihtimam al-Muhadissin fi naqd al-Hadits Lukman as-Salafi
memberikan definisi bahwa yang dimaksud syadz adalah Menyalahinya seorang rawi
dalam meriwayatkan sebuah hadis dengan rawi yang lain yang lebih hafidz, lebih
dhabit, atau dengan mayoritas rawi dalam penukilan matan, disebabkan kerena
penambahan atau pengurangan, qalb dalam matan, atau matan itu ada secara
mandiri melalui matan mudharab dan matan mushahaf.
·
Muhammad
Idris as-Syafi`ii berkata Imam Syafi`i Bukanlah Syadz apabila seorang rawi yang siqah
meriwayatkan sebuah hadis yang tidak diriwayatkan oleh rawi yang lainnya, akan
tetapi yang dikatakan syadz adalah rawi-rawi yang siqah meriwayatkan sebauh
hadis, sedangkan seorang rawi yang juga meriwayatkan hadis yang sama mengalami
kejanggalan dan menyalahi dari mereka.
·
Salah
al-Din ibn Ahmad al-Idliby, Manhaj Naqd al-Matn `ind `Ulum al-Hadits al-Nawawi.Menurut
al-Idliby, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang siqah
berbeda dengan dengan riwayat yang lebih siqah lantaran jumlahnya yang banyak
atau lebih kuat hafalannya. Sebagai pembanding dari istilah syadz ini adalah
istilah mahfudz
4) Illat
Seorang Rowi
Illat adalah sebab yang samar-samar,
tersembunyi yang merusak keshahihan suatu hadits.Dengan mengambil pengertian
‘illat ini, bahwasanya ‘illat menurut para ulama ahli hadits harus memiliki 2
syarat yaitu:
o
Samar-samar
dan tersembunyi
o
Merusak
keshahihan suatu hadits
Apabila kosong (tidak ada) salah
satu dari kedua syarat itu – seakan-akan menjadikan ‘illatnya secara dzahir
atau tidak merusak, maka tidak dinamakan ‘illat seperti istilah 1
D. Dalil
keshahihan sebuah hadist
Berikut
adalah hadits shahih yang telah di uraikan berdasarkan sanad,matan dan
periwayatnya
a)
Hadits yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya,kitab al- jihad wa as-siyar, bab ma ya’udzu min al-jubni;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik ra berkata, Rasulullah saw berdo’a ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka
Hadits tersebut di
atas telah memenuhi persyaratan sebagai hadits sahih, karena:
1)
Ada sanadnya hingga kepada
Rasulullah saw.
2)
Ada persambungan sanad dari awal
sanad hingga akhirnya. Anas bin Malik adalah seorang shahabat, telah
mendengarkan hadits dari nabi saw. Sulaiman bin Tharkhan (ayah Mu’tamir), telah
menya-takan menerima hadits dengan cara mendengar dari Anas. Mu’tamir,
menyatakan menerima hadits dengan mendengar dari ayahnya. Demikian juga guru
al-Bukhari yang bernama Musaddad, ia menyatakan telah mendengar dari Mu’tamir,
dan Bukhari -rahimahullah- juga menyatakan telah mendengar hadits ini dari
gurunya.
3)
Terpenuhi keadilan dan kedhabitan
dalam para periwayat di dalam sanad, mulai dari shahabat, yaitu Anas bin Malik
ra hingga kepada orang yang mengeluarkan hadits, yaitu Imam Bukhari
·
Anas bin Malik ra, beliau termasuk
salah seorang shahabat Nabi saw, dan semua shahabat dinilai adil.
·
Sulaiman bin Tharkhan (ayah
Mu’tamir), dia tsiqah abid (terpercaya lagi ahli ibadah).
·
. Mu’tamir, dia tsiqah
·
Musaddad bin Masruhad, dia tsiqah hafid.
·
Al-Bukhari –penulis kitab as-Shahih-, namanya
adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, dia dinilai sebagai jabal al-hifdzi
(gunungnya hafalan), dan amirul mu’minin fil hadits.
4)
Hadits ini tidak syadz
(bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat)
5)
Hadits ini tidak ada
illah-nya
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits sahih. Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadits ini di dalam kitabnya ash-Shahih
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits sahih. Karena itulah Imam Bukhari menampilkan hadits ini di dalam kitabnya ash-Shahih
b)
Hadits yang dikeluarkan oleh
al-Bukhari dalam Shahih-nya, yang berkata:
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن
مطعيم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم قرأ في المغرب
بالطور حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير
بن مطعيم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم قرأ في المغرب بالطور
Artinya: “Telah
bercerita kepada kami ‘Abdullah ibn Yusuf, yang berkata telah mengkhabarkan
kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad ibnu Jubair ibn Muth’im, dari
ayahnya, yang berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca surah ath-Thur pada waktu shalat maghrib.”
Hadits ini shahih,
karena:
1. Sanad-nya bersambung, sebab masing-masing rawi yang meriwayatkannya telah
mendengar hadits tersebut dari gurunya. Sedangkan adanya ‘an’anah
(hadits yang diriwayatkan dari gurunya dengan menggunakan lafazh ‘an), yaitu
Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair, termasuk bersambung, karena mereka bukan mudallis. Mudallis
adalah orang yang terbiasa menyembunyikan cacat yang ada pada sanad, jika
seorang mudallis
meriwayatkan dengan cara ‘an’anah maka haditsnya tertolak.
2. Para periwayatnya tergolong ‘adil dan dhabith.
Kriteria mengenai para rawi hadits ini telah ditentukan oleh para ulama al-Jarh wa at-Ta’dil
(ulama yang meneliti ke-tsiqah-an para periwayat hadits), yaitu:
- Abdullah ibn Yusuf: orangnya tsiqah dan mutqin (cermat).
- Malik ibn Anas: imam sekaligus hafizh.
- Ibn Syihab az-Zuhri: orangnya faqih, hafizh, disepakati tentang ketinggian dan kecermatannya.
- Muhammad ibn Jubair: tsiqah Jubair ibn Muth’im: shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Tidak ada syadz, karena
tidak bertentangan dengan perawi yang lebih kuat.
4. Tidak ada cacat
(‘illat)
di dalamnya.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat kami simpulkan
bahwa Hadits shahih
merupakan sebuah hadits yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil dan
yang dhabit dari rawi yang lain (juga) adil dan dhobit sampai akhir sanad, dan
hadits itu
tidak janggal serta tidak mengandung cacat (‘Illat). Perbedaan antara hadist shahih Imam al-Bukhari dan Imam Muslim terletak pada sanad,fiqih dan saat penulisan hadist tersebut
PENUTUP
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui
tentang makna,syarat – syarat dan bagaimana cara menguraikan bagian – bagian
dari hadits shahih lengkap dengan sanadnya serta bisa membedakan hadist yang
tergolong hadits shahih Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.Dengan demikian kita dihapkan mampu untuk
menganalisis hadits secara lebih teliti serta dapat membedakan mana yang di
sebut hadist shahih maupun bukan
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad
Umar Hasyim, Taysir Musthalah al-Hadis
‘Itr,Nuruddin,Ulum Al hadits
2,Bandung:PT Remaja Rosda Karya,1997
Khan
Muhammad Shidiq Hasan,Ensiklopedia Hadits Hasan,
T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta : Bulan Bintang.
[2] Munqothi’ adalah hadits yang
dibuang dari tengah sanadnya satu, dua atau lebih dan tidak berturut-turut.
Terkadang maksudnya adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, maka termasuk
di dalamnya hadits yang empat tadi, mursal, mu’allaq, mu’dhol dan munqothi’ itu
sendiri
[5]
Mursal adalah hadits yang dinisbatkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa
sallam oleh sahabat atau tabi’in yang tidak mendengar langsung dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam
[6] Ahmad Umar
Hasyim, Taysir Musthalah al-Hadis hal
24
[7] Taufiq Umar Sayyidi, Manhaj
ad-Dirayah wa Mizan ar-Riwayah hal 5
17.30
17.30
[12] Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu
Sayyid an-Nas dan al-Hafidh al-Mizzi. Lihat Tadrib ar-Rawi, hal. 10-11.
[13] Dijelaskan oleh Syaikhuna
al-'Allamah Muhammad as-Simahi dalam kitab al-Manhaj al-Hadits bagian rawi,
hal. 199-200, dan kami merujuk kepadanya menulis definisi-definisi di atas.
adz-Dzahabi telah menulis kitab Tadzkirat al-Huffadh guna menghimpun para rawi yang bergelar
al-Hafidh dengan arti mencakup pula para rawi yang bergelar al-Hujjah dan yang
lebih tinggi lagi
[14] Ahmad Warson Munawir, kamus al-
Munawir(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 704.
[15] Muhammad Luqman as-Salafi, Ihtimam
al-Muhadissin fi naqd al-Hadis([t.tp]: Maktabah as-Salafi,
1408H), hlm. 294.
Geen opmerkings nie :
Plaas 'n opmerking